I found my happiness in summer; yet I met my love in winter

By Anissa Ratna Putri - Januari 20, 2016

Tahun 2015 adalah pertama kalinya saya mengalami 4 musim dalam satu tahun.
Salah satu checklist hidup saya sekarang sudah tercapai: merasakan 4 musim di Jepang (meskipun belum kesampaian ketemu salju).

Musim semi, saya datang ke Jepang disambut bunga sakura dimana-mana. Rasanya saat itu antara nggak percaya sama bahagia: ini beneran di Jepang ya?
That excitement, that happiness, that curiosity.
Pertama kali saya menjelajah Kyoto adalah jalan kaki bersama Wina yang berakhir di Kyoto Imperial Palace. Tempat yang langsung menjadi salah satu tempat favorit saya di Kyoto, selain Kamogawa. This place has such calming ambience that I cannot explain. Entering the gate, walking through the parks, and all of sudden I feel relax. Combine this calm ambience with cherry blossom trees everywhere. You couldn’t ask for more.


Di musim ini saya bertemu teman-teman baru: teman GSGES, teman labo, teman PPI, teman dorm di Satsuki. Kemudian saya memutuskan di sini saya akan dipanggil dengan nama ‘Anissa’ instead of ‘Ica’. Kenapa? Karena saya ingin orang-orang di Kyoto ini jadi seperti keluarga untuk saya.. dan keluarga saya nggak ada yang pernah memanggil saya dengan ‘Ica’. Meskipun awalnya terasa agak aneh sih dipanggil dengan ‘Anissa’. But I get used to it, and actually I kinda like it. Musim semi, terasa begitu singkat karena kesibukan kuliah (13 mata kuliah cuy), dan karena menikmati hidup sebagai mahasiswa (lagi).

Musim panas.
Saya sudah males banget menghadapi musim ini.
Saya nggak pernah cocok sama temperatur tinggi, saya sukanya yang sejuk-sejuk. 
Saya benci rasa pengap yang mengungkung dan terik matahari yang membakar.
Saya nggak suka udara panas, karena saya jadi ngga variatif pakai jilbab (penting).

Tapi setelah saya melewati musim panas dan melihat ke belakang.. hey, I made lots of good memories back then. 
Lihat kembang api, foto cantik bersama lampion, jalan-jalan di festival terbesar di Jepang sambil mengenakan yukata dan makan takoyaki, berenang di laut, Barbecue party, makan es serut…. dan masih banyak lagi hal-hal yang saya lakukan bareng sama orang-orang terdekat. 


Musim panas adalah musim festival di Jepang, nggak heran begitu banyak event sampai folder foto saya lebih dari 30 folder dalam 3 bulan saja.
Melihat foto-fotonya kembali, saya jadi senyum-senyum sendiri. Lalu saya sadar, meskipun musim panas menyebabkan kaki saya gosong, tapi dia juga meninggalkan kebahagiaan yang begitu besar. I can say, summer 2015 is the happiest season while I was in Japan.

Kemudian waktu beralih ke musim berikutnya, musim gugur.
Musim gugur untuk saya adalah kombinasi antara kesepian, tersesat, dan bahagia.
Diawali dengan internship di Tsukuba, kemudian masa transisi antar internship di mana saya kehilangan motivasi dan semangat belajar, kemudian periode di mana orang tua saya datang. 
Musim gugur juga musim makanan - bukan karena saya sering beli apel atau chestnut, tapi karena di musim ini saya paling produktif memasak.


Mungkin sebenarnya dari keempat musim, musim gugur adalah musim yang ‘saya banget’. I love the colors, I love the weather, and I love the ambience. I remember that day when I spent time sitting while enjoying the beautiful colours of maple leaves while listening to a special autumn playlist. Or that day when I went hunting for beautiful maple leaves around Kyoto, and end up enjoying maple leaves at Genko-an after cycling uphill. Bisa dibilang, musim gugur adalah musim paling ansos. Yet, I enjoyed my me-time season :)

And then winter is coming.

Dari semua musim, musim dingin adalah musim yang paling saya tunggu.
Karena saya selalu merasa cocok dengan udara sejuk cenderung dingin, dan saya punya mimpi mau ke Kutub Utara. Tapi sebenarnya I have no experience in the real cold weather. Saya penasaran, will I survive this winter?


Dan ternyata winter terlalu dingin bagi saya.
’Terlalu dingin’ bukan karena saya tidak bisa mentolerir suhu, tapi lebih kepada karena saya tidak bisa mentolerir keterbatasan saya untuk hal-hal tertentu.
Seperti keterbatasan saya untuk bermain di sekitar Kamogawa, atau duduk di luar untuk cari angin segar sambil menikmati pemandangan. I could not do that in winter, unless I want to freeze.
Dan saya tidak suka AC mode warm. Pada dasarnya saya memang nggak suka AC sih. Kalau musim panas, saya masih bisa survive tapa AC. Tapi musim dingin tanpa penghangat apapun dalam gedug minim insulasi itu… bukan pilhan yang baik (believe me, I tried).

Tapi di musim ini saya menikmati nyamannya mengenakan coat dan boots yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari (penting).
Saya main ice skating (outdoor!!), melihat light illumination yang cantik, kumpul lagi sama teman-teman setelah ngansos 3 bulan kemarin, dan.. jatuh cinta.
Si keras hati dan keras kepala ini akhirnya bisa jatuh cinta lagi, sampai saya sendiri agak bingung. Despite of the limitation because of coldness, I really enjoy this winter. And most of the time probably because of him. Sayangnya nggak ada salju, jadi belum ala-ala drama gitu hahaha.

Winter is not ended yet, but I escaped. Thus, even though today is snowing in Kyoto, I cannot experience it. 


Next year, will You give me some snow, please? 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments